Sebelum manusia mengenal mata uang, pemenuhan kebutuhan dilakukan dengan cara bertukar barang (barter). Jika A mempunyai bayam dan membutuhkan jagung, dan B sebaliknya maka mereka dapat saling bertukar barang. Sistem transaksi seperti ini membutuhkan dasar rasa saling mempercayai.
Mekanisme ini mempunyai kelemahan jika kita hendak bertukar barang dengan orang lain, tetapi ia tidak mau karena tidak membutuhkan barang yang kita tawarkan, sepeti contoh jika A mempunyai bayam dan membutuhkan jagung, B mempunya jagung tetapi tidak mau ditukarkan dengan bayam. Bayangkan jika ada banyak orang yang mengalami hal tersebut, terjadi sebuah kebuntuan (dead-lock) yang membuat proses saling bertukar barang tidak dapat terjadi.

Mata uang muncul sebagai satuan alat tukar yang telah disepakati bersama dan diatur oleh sebuah badan hukum. Dengan analogi buntunya proses transaksi antara A dan B, keduanya dapat saling menerima transaksi dengan dasar mempertukarkan barang dengan mata uang. Tak hanya untuk barang, uang juga dapat menjadi nilai tukar untuk jasa/layanan.

Dalam skala yang lebih besar, setiap negara mempunyai kebijakan tersendiri, dan juga kekayaan sumber daya yang berbeda-beda. Hal ini membuat setiap mata uang pada setiap negara mempunyai nilai yang beragam.
Transaksi antar negara membutuhkan suatu standar agar transaksi dapat terjalin. Bila kita mengingat proses barter, lantas apa bedanya?
Perlu adanya kesepakatan dan aturan yang jelas dan disepakati bersama, sehingga proses transaksi antar negara akan memakan waktu dan biaya.
Sebagai contoh, dengan menggunakan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) proses pemindahan uang antar negara membutuhkan waktu antara satu sampai tiga hari; beban biaya akan dikenakan baik di sisi bank pengirim maupun bank tujuan.

Sebuah cryptocurrency pertama (Bitcoin) muncul dari ide seorang anonymous dengan kode nama: “Satoshi Nakamoto”.
Kemunculan cryptocurrency berpotensi untuk membantu permasalahan beragamnya mata uang yang digunakan dalam transaksi internasional.
Dalam kondisi ideal, penerapan cryptocurrency memungkinkan semua orang untuk menggunakan mata uang yang sama sehingga tidak lagi diperlukan proses konversi nilai tukar. Selain itu, proses pemindahan uang lintas negara dapat dilakukan dengan cepat dengan biaya yang sangat kecil. Hal ini dimungkinkan dengan memanfaatkan teknologi jaringan internet dan mekanisme verifikasi yang terdistribusi dengan pengamanan teknologi kriptografi dalam bentuk blockchain.
Keamanan transaksi cryptocurrency yang diusung melalui penggunaan teknologi blockchain mempunyai efek samping. Semakin bertambahnya jumlah transaksi, tingkat kesulitan verifikasi semakin meningkat dan mengakibatkan lambatnya transaksi cryptocurrency. Hal ini memang secara eksplisit dipaparkan oleh Satoshi, ia tidak memperhitungkan akan hal ini saat mengusung Bitcoin.

Akibat sulitnya proses pengembangan Bitcoin sebagai cryptocurrency, muncullah Altcoin seperti Litecoin, Ripple, Ethereum, dan ribuan coin lainnya yang menawarkan berbagai visi dan fungsi. Seperti Ethereum (cryptocurrency yang menduduki posisi kedua setelah Bitcoin; Januari 2018) yang mengusung smart contract membuatnya memunculkan DAO (Decentralized Autonomous Organization) yang mampu menciptakan dan menggerakkan organisasi tanpa campur tangan pihak bank dan pemerintah.
Ripple yang menduduki posisi ketiga (Januari 2018) berusaha bekerja sama dengan pihak bank, menjadi alternatif lain bagi yang hendak menggunakan cryptocurrency yang bersifat centralized sehingga membuatnya bertolak belakang dengan Bitcoin dan Ethereum.

Perjalanan cryptocurrency sebagai alternatif bagi mata uang konvensional tidaklah mulus. Setidaknya ada tiga faktor yang mesti dimiliki oleh mata uang: diterima masyarakat luas sebagai alat tukar untuk proses transaksi, diterima secara hukum sebagai alat tukar yang memiliki nilai finansial, dan memiliki nilai tukar yang relatif stabil.
Akan tetapi, tidak satupun dari ketiga faktor ini dimiliki oleh cryptocurrency. Sampai saat ini belum ada satu pun negara yang dengan serius mendukung penggunaan cryptocurrency. Sebaliknya, justru semakin banyak negara yang melarang penggunaan dan transaksi cryptocurrency. Selain itu, nilai tukar cryptocurrency yang sangat fluktuatif menjadikan cryptocurrency sulit untuk digunakan sebagai alat tukar layaknya uang.

Alih-alih sebagai mata uang, cryptocurrency justru saat ini lebih diterima secara luas sebagai komoditas. Layaknya komoditas berharga, seperti emas dan perak, nilai dari cryptocurrency ditentukan oleh tingkat ketertarikan masyarakat terhadap komoditas tersebut.

Published in Griya Ilmu Kompas – Januari 2018